Senin, 10 Maret 2014

Pemilu 2014: "Papua Harus Panas"

 
 
Mendekati Pemilu kolonial Indonesia, 9 April 2014, TNI dan Polri siap siaga dengan kekuatan penuh. Mereka mulai latihan perang, show force, dan membuat pernyataan ancaman terhadap orang Papua yang tidak berpartisipasi dalam Pemilu nanti. Tujuannya hanya dua; mencari uang dan memaksa legitimasi kolonial.

Motivasi pertama: Cari Uang

Ada konflik ada uang. Itu proyek lasim TNI dan Polri di Papua. Para petinggi TNI/Polri di Jakarta dan Papua sangat berkepentingan dalam mempertahankan "Papua tanah konflik" agar proyek keamanan, yakni proyek "cari uang" dapat berlanjut. 
Melalui berbagai media kita dengar, jauh-jauh sebelumnya TNI dan Polri sudah menuduh "kelompok separatis atau kelompok bersenjata" akan melakukan penyerangan pada saat Pemilu 2014. Selalu dan selalu saja perjuangan Papua Merdeka yang damai dan bermartabat dipakai sebagai "proyek keamanan" agar dana keamanan Pemilu dapat mengalir besar.
Tidak ada jalan lain untuk menghidupi ratusan ribu Tentara dan Polisi kolonial Indonesia -organik dan non organik- yang berhamburan diatas tanah Papua. Bagi mereka ruang damai di Papua harus ditutup rapat-rapat, dan kekerasan harus dijaga agar proyek keamanan (cari uang) dapat mengalir terus.
Motivasi kedua: Memaksa legitimasi kolonial
Selain karena kepentingan cari uang, TNI dan Polri dengan doktrin "NKRI Harga Mati" dipersiapkan untuk memaksa rakyat West Papua ikut menyukseskan aktivitas kolonial Indonesia melalui Pemilu. Tindakan pemaksaan (coercion) bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kolonial Indonesia di West Papua, karena dalam pandangan mereka pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan kolonial di West Papua.
Pemilu hanya akan berhasil memilih wakil kolonial Indonesia di West Papua, tetapi tidak memiliki makna perubahan dalam kehidupan bangsa Papua, karena secara real politik, ekonomi dan sosial bangsa Papua terus terjajah dibawa kekuasaan kolonial Indonesia. Kebehasilan Pemilu justru dipolitisasi sebagai parameter keberhasilan demokrasi di Papua, padahal ruang demokrasi disumbat habis-habisan oleh TNI Polri di West Papua. Artinya, rakyat hanya akan dipaksa ikut-ikutan dalam pemilu kolonial Indonesia.
Status West Papua masih menjadi "kanker" PBB yang harus disembuhkan melalui penyelenggaraan hak penentuan nasib sendiri yang baru, karena hak politik rakyat West Papua tidak terpenuhi melalui mekanisme "One man One vote" pada pelaksanaan Pepera 1969.
Kita berharap Indonesia tidak mengkondisikan proses politik kolonial sebagai ajang kepentingan kolonialisme semata, tetapi membuka diri untuk menyelesaikan problem Papua dengan damai, jujur, terbuka dan final.

Penulis: Victor Yeimo Ketua Umum KNPB dari Penjara Kolonial Indonesia di Abepura, Jayapura
 
Sumber :http://www.malanesia.com/2014/03/pemilu-2014-papua-harus-panas.html#.Ux1wZSSiY_8.twitter

0 komentar:

Posting Komentar