Dalam tulisan ini, pembahasannya lebih bersifat universal.
Hal ini berarti bahwa, sang gembala tidak hanya bagi mereka yang memang
kesehariaannya bekerja sebagai gembala umat (Hamba Tuhan). Akan tetapi, sorotannya
bagi semua jenis pekerjaan yang sedang berkarya oleh siapa saja yang
mendapatkan kesempatan untuk memimpin di Tanah Papua. Bukankah seorang pemimpin
adalah ibarat sang gembala yang menggembalakan domba-dombanya?
Secara Teologis, kata gembala memunyai arti: (1) kasih dan
perhatian, merawat dengan penuh
kelembutan dan kesabaran dan (2) otoritas atau kedaulatan. Inilah sebabnya
gambaran gembala dipakai bagi para raja, pemimpin; mereka memiliki otoritas
atau kedaulatan atas umat.
Hal yang melatarbelakangi sehingga penulis tertarik untuk
menulis tulisan ini, karena melihat
semakin minimnya peran sang gembala dalam memperjuangkan hak dan
kewajiban dari domba-dombanya. Sang gembala yang baik dalam hal ini dimulai
dari Ketua Rukun Tetanga/Warga (RT/RW) hingga gubernur sebagai pempinan
tertinggi di suatu provinsi. Sorotan khusus pada bagian ini adalah bagi para
pemimpin di Tanah Papua.
Ada beberapa indikator yang dapat kita lihat di Tanah Papua,
sebagai bukti bahwa semakin minimnya peran sang gembala yang baik dalam
memperjuangkan hak dan kewajiban dari domba-dombanya. Salah satu indikatornya
adalah semakin tingginya angka pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan,
masalah HAM terlihat seakan-akan mati di bumi Papua.
Betapa tidak mungkin? Realitanya, banyak sekali kasus
pelanggaran HAM yang selalu dibungkam, tidak pernah diusut tuntas hingga di
meja pengadilan. Dimanakah suara sang gembala? Jika, hal-hal seperti ini terus
terjadi tanpa ada pembelaan hak-hak dari domba-dombanya.
Melihat fenomena di atas, maka penulis merasa misi yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus patut diteladani oleh para gembala saat ini
pula. Sebagaimana, Umat Kristiani telah mengenal bahwa Yesus sebagai Sang
Gembala Yang Baik (Bdk. Inj. Yoh. 10:1-18). Oleh karena itu, para pemimpin saat
ini juga dirasa patut belajar dari-Nya untuk penggembalaan domba-dombanya.
Tuhan adalah gembala pemilik, bukan gembala upahan. Dia
memiliki kedaulatan penuh atas kita karena Dialah yang memiliki kita, dan kata
memiliki ini juga berarti kasih sayang. Seperti dalam setiap rasa memiliki
yang positif. Misalnya rasa memiliki suatu perusahaan atau persekutuan, berarti
menyayanginya; hak orang rasa memiliki orangtua terhadap anak, berarti
mengasihi dan memberikan perhatian.
Demikian besar kasih-Nya kepada kita milik-Nya. Sehingga, Ia
memberikan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Gembala upahan ketika mengalami
kesulitan, dia akan lari karena orientasi mereka adalah demi keuntungan mereka
sendiri tetapi sebaliknya. Yesus pernah berkata,"Aku
datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan" (Bdk.
Inj. Yoh. 10:10b). Yesus memiliki kita dan mengasihi kita dengan kasih
ilahi.
Yesus disebut Gembala Yang Baik karena Ia bersedia
mengorbankan hidup-Nya untuk manusia dan menyelamatkan yang tersesat. Sebagai
Gembala Yang Baik, Yesus memenuhi tiga ciri ini yakni: Pertama; Memberikan Nyawa untuk Domba-Domba, Kedua; Mengenal Mereka dan
Mereka Mengenal Dia, dan Ketiga;
Mengusahakan Persatuan Semua Kawanan Domba.
Memberikan
Nyawa untuk Domba-Domba
Tanah Papua selalu identik dengan daerah yang rawan konflik.
Konfliknya, baik secara horizontal maupun vertikal. Perlindungan, keberpihakan
terhadap hak-hak dasar bagi Orang Asli Papua pun, sangat susah didapatkan.
Sebagaimana, kita mencari mutiara di dasar laut yang paling dalam. Ibaratnya
banyak sekali serigala yang datang di dalam kawanan domba-domba, akan tetapi
tidak pernah ada sang gembala yang berani melawannya. Saat-saat seperti itu,
adakah para gembala di Papua yang berani mempertaruhkan nyawahnya bagi
domba-dombanya?. Dengan mencermati hal-hal ini, maka Orang Asli Papua masih
sedang membutuhkan Sang gembala yang baik.
Mengenal
Mereka dan Mereka Mengenal Dia
Di Tanah Papua, masyarakat seringkali mengalami kesulitan
untuk bertemu dengan pemimpinnya. Padahal, merekalah yang mempercayakan untuk
menjadi pemimpin untuk memimpinnya. Meskipun, secara kebetulan bertemu, mereka
selalu ditipu dengan seribu satu macam alasan. Bahkan, aspirasi-aspirasinya saja
dibuang lain dibakar tanpa ada tindak lanjut yang jelas dan berpihak.
Bagaimana domba-dombanya mau mengenal gembalanya. Sedangkan,
mereka hidup dan tinggalnya saja di hotel-hotel berbintang. Selain itu, selalu
jalan dengan mobil kaca gelap yang tak peduli dengan domba-dombanya yang sedang
jalan dan tinggal di sekitaran jalan raya. Dengan mencermati hal-hal ini,
sehingga Orang Asli Papua masih sedang membutuhkan sang gembala yang mereka
saling mengenal antara satu dengan lainnya.
Mengusahakan
Persatuan Semua Kawanan Domba
Sang gembala yang baik selalu mengusahakan adanya persatuan
dan kesatuan antar domba-dombanya. Akan tetapi, realita yang sedang terjadi di
Papua saat ini adalah para gembala umat, hanya gila dengan jabatan dan
kedudukan yang pada akhirnya membuat domba-dombanya berpencar. Mereka sibuk
dengan pencalonan. Pencalonannya, baik itu untuk jadi anggota Legislatif maupun
Eksekutif seperti; calon bupati dan gubernur. Untuk kepentingan-kepentingan
tersebut, para gembala sibuk dengan partai-partainya maupun pengurusan adanya
daerah pemekaran baru.
Padahal dengan adanya pemekaran tersebut membuat banyak
masalah karena berbagai kepentingan yang dampaknya bias domba-dombanya. Dengan
adanya ini, sekarang Orang Asli Papua mengakui dirinya secara spesifik yakni
aku. Jarang terdengar kata kami Orang Papua. Ungkapan yang biasa terdengar
adalah misalnya; saya dari Intan Jaya, Sufiori, Waropen dan sebagainya. Ingat
bahwa kita adalah se-jiwa dan se-bangsa (one
people one soul).
Maka sangatlah jelas, kalau Yesus dikatakan Gembala Yang Baik.
Karena, memang berbeda dengan Gembala
Yang Hanya Upahan. Bedanya dimana? Injil mengatakan orang upahan cenderung
mengutamakan kepentingan dan keselamatan diri). Orang upahan sama sekali tidak
peduli akan kesulitan dan tantangan, secara otomatis saja menjalankan tugas.(Bdk.
Injil Yoh 10:1-18; 26-30.).
Dengan melihat konsep gembala yang baik dan gembala upahan
serta ciri-cirinya, maka kini Orang Asli Papua sangat merindukan adanya sang gembala
yang baik. Gembala yang baik yang diidamkan adalah gembala yang senantiasa mau
bersuara bagi kepentingan domba-dombanya.
Selama ini, peran sebagai sang gembala yang baik hanya dilakukan
oleh beberapa Hamba Tuhan di Tanah Papua. Sesungguhnya, suara-suara mereka
adalah suara sang gembala atas pangalaman mereka bersama domba-dombanya.
Sebagai contoh, mereka adalah seperti; Pastor Dr. Neles Kebadabi Tebay, Pr.,
dengan konsep perluh adanya Dialog Jakarta-Papua. Selain itu, Pdt. Dr. Benny
Giay, Pdt. Drs. Socratez Sofyan Yoman, M.A., Pastor John Jongga, Pr, melalui tulisan-tulisan
mereka dalam bentuk opini, artikel juga buku-buku yang sebenarnya dasyat luar
biasa.
Akan tetapi, realitanya suara-suara mereka saja tidak
didengarkan oleh bangsa ini. Perluh
diketahui bahwa, sesungguhnya suara mereka adalah murni suara sang gembala
umat. Mereka bukanlah para separatis atau pun makar. Akan tetapi, seringkali konsep
inilah yang selalu salah paham oleh perseorangan maupun negara besar ini.
Terlebih lagi, beberapa hasil karya buku dari para gembala kami di atas pernah dilarang
untuk beredar di publik. Padahal, misi yang mereka dilakukan sebenarnya adalah Misi
dari Tuhan Yesus Kristus sendiri sebagai Gembala Yang Baik.
Oleh karena itu, tolong hargailah dan tanggapilah
suara-suara dari para gembala kami ini. Hanya oleh mereka, suara-suara dari
kaum tak bersuara sedang mencoba untuk disuarakan. Kami juga manusia yang sama
seperti anda. Jika anda tidak menghargai suara kami, berarti ingatnlah bahwa
engkau tidak menghargai Tuhan yang menciptakan Engkau dan Aku.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hanya mau tegaskan ada
dua hal yang perluh dipahami bersama. Kedua hal tersebut adalah; Pertama; Sang
gembala bukan hanya bagi mereka yang sesungguhnya sebagai seorang Hamba Tuhan.
Akan tetapi, semua orang yang mendapatkan kesempatan untuk memimpin. Kedua;
Sang Gembala yang baik tentunya harus memiliki ketiga misi atau ciri khas yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus sebagai Sang Gembala Yang Baik.
Sesungguhnya, Orang Asli Papua
Mendambakan Sang Gembala Yang Baik. Bukan, Sang Gembala Yang Upahan.
Felix Minggus Degei adalah Alumnus dari
Program Studi Bimbingan dan Konseling (Psikologi), Universitas Cenderawasih
Jayapura Papua tahun 2012. Menaruh Perhatian pada Masalah Pendidikan dan
Kebudayaan di Papua.
0 komentar:
Posting Komentar