Pemilihan kepala daerah langsung atau yang sdering disebut dengan
pilkada merupakan salah satu bentuk demokrasi yang tampil di hadapan
kita. Pilkada merupakan mekanisme pemilihan langsung pemimpin eksekutif
dan legilatif di daerah, mulai dari wali kota, bupati, hinga gubernur
dan DPR, DPRD. Dengan asumsi bahwa mereka yang dipilih merupakan
representasi dari mereka-mereka yang memilih. Kesejatrhan dii idamkan
oleh karena itu , kesejatrahan yang di idamkan oleh warga suatu daerah.
Tulisan ini ketika melihat banyak mashasiswa yang meninggalkan kampus
hanya demi partisipasi demokrasi. Upaya analisa dan refleksi terhadap
politik indonesi konteporer khususnya dalan konteks pemilu legislatif.
Bayak harapan-harapan yang berubah Menjadi kutuk dan tidak sedikit
anggapan pesmistis warga yang berubah menjadi berkah.
Antara
harapan dan kenyatan tergambar dan terhias dalam pilkada dan mahasiswa.
Persoalan untuk menyusuri masa depan menjadi tandangan dan kenyatan
yang harus diperjuangkan secara fundamental dan hakiki yang berorentasi
pada masa depan pembangunan. Sebab pembangunan fisik dan non fisik ada
bersama inspirasi yang cemerang. Gagasan yang deskriptif, kajian dan
objek kerja yang akan menjadi jelas ketika disiplin ilmu itu di tekuni
hinga sampai selesai. Dan masa depan akan menjadi jelas ketika duduk di
kursi legislatif untuk meruba sesuai dengan apa yang diperolehnya.
Situasi kontekstual mengarahkan pandangan untuk memperoleh sesuatu
menajdi pada tempatnya. Namun untuk dapat membangun dengan kesadaran
alam berpikir menajdi pernyatan dan persoalan hakiki. Dengan demikina
molaritas dalam pembangunan so pasti akan di realisasikan dalam
aplikasinya. Untuk mengejar sesuatu tak bisa tak terlepas dari ambisi
untuk mencapai gelar kursi hal biasa. Tetapi lebih luar biasa adalah
bisa menyelesaikan persolan konteks yang sesuai dengan apa yang ia
peroleh dalam kursi empuk yang dirahi.
Siapa yang melarang aku
mencalongkan diri kursi legislatif. Sekarang kan daerah daerah otonomi.
Manusia siapa yang melarang? Melarang adalah melanggar etika demokrasi
untuk mengekspresikan diri dalam visi dan misi. Gunakan kesempatan yang
ada, karena kesempatan tidak akan balik yang kedua kali. Benarkah
pernyataan ini? Jawaban akan terselip dalam tulisan uraian di bahwa ini.
Sadar dan tidak sadar masih kulia tetapi Meninggalkan kulia
demi ambisi kursi legislatif. Antara kesenangan dan kenukmatan sesat
bukan untuk membangun daerah tetapi mengacaukan daerah. Beberapa cerita
diskusi menemukan banyak pejabat legislatif yang mencalongkan diri
sambil kulia dan mendapat kursi legislatif ijasanya dibeli karena uang
membanjiri saku sebab tidak ada ruang untuk belajar kembali. Antara
kebenaran dan fiftif.
Ruang demokrasi tak pernah akan sirna
selama manusia itu ada. maka proses lebih mendahului pola berpikir
untuk membereskan molaritas. Banyak orang sudah pintar untuk membangun
daerah dengan pola pemahamannya sendiri sebagai dinamika proses.
Pemahamannya itu mengandaikan bahwa ingin membangun daerah sendiri dan
tidak perlu orang lain memimpin daerah sesuai dengan desentrealisasi
otonomi dan hal itu baik dan beri apresiasi. Namun yang menjadi keraguan
adalah manusia ingin dan cepat memperoleh sesuatu sementara ilmu yang
di tekuninya di tinggalkan demi pesta demokrasi yaitu pilkada.
Kebebasan tidak mengikat untuk mengekspresikan diri dalam pesta
demokrasi. Ruang demokrasi ada untuk manusia berekspresi Visi dan Misi
lima tahun kedepan di pangung demikrasi. Saling mempergaruhi dan di
pengaruhi pun sudah, sedang di rancang demi kursi legislatif. Yang
menjadi pertanyaan adalah ketika duduk di kursi legislatif bisa membagi
waktu untuk menyelesaikan kulia yang putus dan mencalongkan diri dalam
pesta demokrasi dan memperoleh kursih legislatif? Atau sebaliknya kulia
tidak lanjut tetapi ijazanya di beli sehingga kulianya tidak jelas
tetapi dibelakan nama fam tanpa nama gelar sarjana?, atau semakin tampa
masalah karena disiplin ilmunya tidak jelas membuat kontraversi terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi persolan. Persolan karena banyak
orang sudah pintar mengatur dan menetapkan kebijakannya untuk dan agar
ingin meruba daerah tetapi sulit. Sulit itu disebabkan karena apa yang
nantinya dikerjakan (bingung) bukan hanya bicara tetapi membutuhkan
sebuah konsep pemikiran yang tertulislah yang akan ditetapkan.
Persoalan berbicara itu hal biasa tetapi persoalan menulis dan
merangkainan kebijakan membutuhkan menjadi persoalan tetapi orang
melihat materi lebih utama dari pada membuat dan mengimplementasikannya
konsep tidak dipikirkan dan ini yang menjadi persoalan kritis. Kritik
mengkritik untuk membangun terus terungkap dalam ungkapan bahasa yang
tidak menjiwai itu hanya sebagai ide terhias dalam benak dan menajadi
penyakit karena sulit di ungkapkan dalam sebuh tulisan yang akan menjadi
buah pikiran untuk membangun daerah.
Sistem demokratisasi tidak
membatasi ruang publik. Hal ini tidak sadar bahwa ada waktu dan ada masa
untuk generasi berikut pun tak sadar. Kulia ditinggalkan demi sesat
kekuasan material. Orentasi demikian berarti manusia yang
mengatasnamakan mahasiswa ini molaritasnya harus dibereskan tidak bisa
tidak karena manusia model demikian akan menjadi pengacau masa depan
suatu daerah.
Mengapa coretan ini mengatakan dan
mengungkapkan hal demikian karena mahasiswa adalah tongkat estafet
yang menyelamatkan daerah. Maka ada beberapa pemahamannya sendiri
bahwa, hal pertama yang perlu kita sadar bahwa pemilu dan mahasiswa
adalah waktu akan berputar dan semua akan memperoleh kesempatan yang
sama untuk memperlakukan sistem demokrasi yang hendak terus berputar dan
akan mengimplemntasikan sesuatu sebagai suatu proses awal demokrasi
untuk kritis bagi perubahan politik itu sendiri.
Demi
mengantisipasi kejadian yang krusial yang tidak pada tempatnya yaitu
tiadanya akutanbilitas dan penegakan hukum (rule of law) yang jelas
oleh lembaga legislatif sesuai dengan otoritas mereka sehingga
orentasinya yang tidak jelas dan apa yang mau dibuat pun tidak jelas
sehingga DPRD yang Datang, Dududk, Diam, Duit dan Pulang menjadi hal
biasa. Hal ini dapat ditemui dimana-mana terjadi korupsi begitu
melajarela tanpa kerja yang jelas, penyelundupan yang tidak terkendali,
revel kriminalitas yang tinggi, personalissi kekuasan sampai pada
persoalan ketidakadilan terjadi.
Kedua dalam analisisnya,
pemiliran ketidakmampuan mengatur pluraritas etnis dan ras serta wilayah
cecara damai dan terbuka tak akan terjadi sehingga mau siap landas
tetapi tetap tinggal landas terus.
Demikrasi memang memberikan
keleluasan bagi indivindu dan kelompok untuk melakukan aktulisasi diri
dan interaksi dengan bijak tetapi tak mampu membuat menciptakan problem
baru muncul dan tak akan selesai-selesai nantinya.
Nuansa
demikian ini sebagai mahasiswa selesiakan kulia dan terlibat dalam pesta
demokrasi lebih baik dari pada kulia tidak selesaikan tetapi ambisi
untuk menduduki jabatan kursi legislatif di idamkan hanya demi materil
semata dibandingkan dengan membangun daerah menjadi asumsi yang tak
pernah selesai hingga kini tak tertuntas karena demokrasi tak ada batas.
Memang dari sisi lain berpikir juga bahwa rintangan dalam menjalangkan
demokrasi di daerah yang baru mekarkan dan baru berkembang akan menjadi
staganasi ekonomi yang di sebabkan oleh kegagalan menjalankan
demokraatisasi.
Hal lain juga dimungkingkan oleh lever
kopotensi, kapabilitas dan profesionalitas menjadi rendah karena
persolannya tidak bisa menyelesaikan dalam bentuk konsep. Tak adanya
konsep bisa mengakibatkan masalah dan sulit diselesaikan.
Lebih
jahu lagi ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan seperti yang
dikatakan oleh Lothaats (1097) dapat mencatat sedikitnya empat
persoalan yang mendasar bagi pelaksanaan demokratisasi (diluar dari
variabel ekonomi) empat persoalan yang dimaksud adalah (i) budaya
(ii)pembelahan atas etnis dan ras (iii) faktor eksternal dan (iv) faktor
politik.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Budaya
merupakan faktor utama untuk menjelaskan dibentuknya suatu demokratis
atau sebaliknya gagalnya demokrasi. Budaya politik adalah upaya
pembelajaran yang berlangsung terus menerus dan ia dapat berubah dalam
perjalanan waktu.
Ingin rasanya merubah daerah dengan cita-cita
tinggi namun untuk mengejar pengetahuan tak pernah dipikirkan hanya
berambisi untuk memperoleh kursi basah dan empuk menjadi hal biasa bagi
orang Indonesia. Orang Indoneisa berpikirnya instan dan tidak mau
proses nah ini yang menjadi masalah. Masalah disebabkan karena proses
tidak di tepuh tetapi ingin kaya lebih cepat terinspirasi di setiap
benak orang Indonesia, maka republik ini demokrasi berkembang pesat
namun kualitas manusianya tidak nampak akibat tidak dibina , tidak
diarahkan dan tidak diperhatikan suber daya manusianya (kualitas) dan
ingin yang lebih untuk dapat memuaskan dahaganya namun untuk proses
menyelesaikannya tak jelas karena tak punya konsep pembangunan yang
jelas.
Tempat kulia orang kosong, semua sibuk pemilu adalah ciri
kas anak indonesia. Dengan Pemilu masa depan mulai hari ini tentukan
atau sebaliknya mau menyaksikan saja mengorbangkan kulia. Hal ini lupa
sebagai statusnya mahasiswa dan masa depan demokrasi. Maka itu masa
depan demokrasi harus memperbaruhi pikiran dengan membereskan
molaritas. Manusia harus memberekan molaritas tidak dipikirkan oleh
semua mahasiswa yang tersebar di setip kampus dengan ilmu pengetahuan
tetapi pulang kampung. Apa yang mau terapkan jika masih dalam kursi
kulia mencalongkan diri menjadi DPRD aneh tapi nyata untuk orang
Indonesia yang terjadi dimana-mana.
Tidak membatasi ruang
demikrasi, hanya saja menjadi persolan adalah manusia tidak dibekali
baik dengan ilmu pengetahuan sebagai senjata ampu untuk menaklukan
perubahan mendasar sangat penting dan disayangkan yang menjadi korbang
adalah masyarakat karena mengambil dan memutuskan suatu formasi
kebijakan salah arah atau sebaliknya salah kaprah. Apa lagi bagi yang
bukan jurusannya yang mencalongkan diri mau buat apa ini? Dan lebih
parah lagi masyarakat yang tidak pernah mengenyam pendidikan pun ikut
mencalongkan diri menjadi pemilu legislatif dan tembus administrasi. Ini
membingungkan namun menjadi kenyataan biasa-biasa saja.
Konsep
tanpa moralitas sama saja akan menjadi pengacau, konsep pemikiran
rasional ada dalam diri tetapi molaritas tidak bereskan terlebih dahulu
juga sama saja atau sebaliknya juga akan menajdi pengacau. Manusia yang
bereskan molaritas bersamaan dengan konsep pemikiran lebih dahulu di
almagalmasi atau dikawingkan berarti pembanguan itu akan menjadi nyata.
Nyata karena konsep pemikiran itu tumbuh dan berkembang dan lahir dari
hati maka mendahulu membereskan molaritas dengan pengetahuan miliki.
Demokratisasi tak perna hilang, visi dan misi di imprementasikan
dibuat pun dengan sedemikian rupa untuk memperoleh suatu kemenangan
dalam legiselatif. Namun yang menajdi masalah adalah formasi kebijakan
yang akan dibuat dan ditetapkan melaluhi konsep yang menjadi persoalan.
Persoalan ini seharusnya dibenai oleh mahasiswa tetapi dalam perjalanan
kulia ko masih berambisi untuk menjadi legislatif ini yang mangjadi
masalah. Demi memperoleh pengetahuan lupa tetapi untuk ambisi legislatif
menjadi impian untuk mengejarnya terinspirasi di setiap benak.
Penulis adalah : Krismas Bagau
Sedang mengenyam pendidikan Jurusan Ilmu Pemerintahan di salah satu perguran tingi Ilmu Pemerintahan di
Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar