Cuaca sangat cerah di Wamena, Sabtu (15/3) lalu. Hari itu adalah hari kampanye akbar seluruh partai politik dalam rangka menyambut pemilihan anggota legislatif, 9 April.
Kota Wamena diwarnai dengan atribut partai, seperti bendera, baliho, kaos dan lain sebagainya.
Namun di sudut lain kota itu, tepatnya di Honai Dewan Adat Lapago di Kama, sekelompok masyarakat sedang berduka.
Mereka berkumpul dalam suasana duka, mengenang kepergian Muridan
Satrio Widjojo, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
yang semasa hidupnya menaruh perhatin intens pada persoalan Papua.
Ia meninggal di Jakarta, 7 Maret lalu, setelah bertahun-tahun menderita kanker.
Acara di honai itu diawali dengan doa bersama, dipimpin Pastor John Jonga, imam pejuang HAM yang juga sahabat baik Muridan.
Dalam homilinya, Pastor John menyebut Muridan sebagai garam dan terang dunia.
“Karena beliau telah memberi rasa, menghidupkan, dan menunjukkan jalan untuk perdamaian di Papua”, katanya.
Ia juga menyebutnya sebagai tokoh pluralis, yang tidak
membeda-bedakan suku, ras dan agama dalam memperjuangkan harkat dan
martabat manusia.
“Bahkan dalam keadaan sakit yang sudah sangat parah, beliau masih berpikir tentang perdamaian di Papua”, ungkap Pastor John.
Setelah ibadah, satu persatu mereka yang mengenal Muridan berkisah tentang pengalaman hidup bersama dia.
Damasus Wetapo, yang membantu Muridan selama tiga tahun saat
melakukan penelitian tentang budaya orang Wamena mendapat kesempatan
pertama.
Ia menuturkan, selama menjalani penelitian, terjadi perang suku di
Wamena dan Damasus mengingat bagaimana Muridan mendorong para tokoh
untuk mendamaikan suku-suku yang sedang berkonflik.
“Muridan tidak tampil di depan, tetapi beliau mendorong para tokoh
orang Wamena sendiri yang melakukannya dengan dukungan penuh dari dia”,
jelasnya.
Hubungan baik keduanya berkembang hingga seperti keluarga. Saat
Muridan menyelesaikan S3 di Belanda, dia langsung datang ke Papua untuk
mengucapkan terima kasih.
“Ucapan terima kasihnya hanya selembar foto. Tadi saya berusaha mencarinya tetapi sudah tidak ada”, kata Damasus dengan sedih.
Sebagai wujud rasa terima kasihnya, Muridan kemudian menyekolahkan anak pertama Damasus bernama Yeri.
Dari SMP hingga studi Antropologi di Universitas Atmajaya Jakarta,
Muridan-lah yang membiayai. “Muridan itu bapak dari anak saya Yeri”,
ungkapnya.
Mama Sarce Hesegem mewakili kelompok perempuan juga ikut berbicara tentang Muridan.
Ia menggambarkan sosok Muridan, yang menurutnya adalah seorang yang sederhana.
“Dia bisa tinggal dimana saja dan makan apa saja yang disediakan oleh
mama. Dia juga sangat berusaha memahami persoalan-persoalan masyarakat
dengan masuk dari honai yang satu ke honai yang lain”, katanya.
Sementara Julianus Hisage, Ketua Dewan Adat Lapago menyebut Muridan
sebagai anak adat asal suku bangsa Jawa yang berani dan berhasil membuka
kunci peti berisi akar persoalan Papua.
“Papua sungguh-sungguh kehilangan satu Muridan. Masih adakah seribu
Muridan lain yang akan datang membawa damai di honai dan mengakui
keberadaan kami di honai?” ucapnya.
Tangisan semua orang yang hadir dalam honai semakin menjadi ketika
Theo Hesegem, anggota Jaringan Damai Papua (JDP) di Wamena bercerita
tentang Muridan.
Saat baru memulai berbicara, ia hanya menangis. Hal ini membuat semua yang hadir dalam honai berurai air mata.
Theo memang tidak hanya dekat dengan Muridan, tetapi juga cukup dekat
dengan keluarganya. Theo juga cukup tahu bagaimana perjuangan Muridan
melawan penyakitnya sambil berjuang untuk Dialog Jakarta Papua.
“Dia mengajarkan anak-anaknya untuk menghargai orang Papua. Kalau
mereka ke Jakarta, kamu harus terima mereka, tidak menganggap mereka
hitam dan kotor. Tidak membeda-membedakan,” ucap Theo mengenang
bagaimana Muridan menasehati anak-anaknya.
Dia mengaku masih sulit mmembayangkan bagaimana rapat JDP ke depan tanpa kehadiian Muridan.
Setelah pembicaraan selesai, diadakan penandatanganan pengukuhan Muridan sebagai Kepala Suku Pejuang Damai.
Surat pengukuhan ini ditandatangani oleh sejumlah tokoh adat, termasuk Pastor John dan Theo Hesegem.
Muridan dikenal sebagai ahli masalah politik dan sosial Papua. Ia
meneliti masalah antropologi sosial dan politik Papua sejak tahun 1993.
Akademisi kelahiran Surabaya, 4 April 1967 ini meraih gelar doktor di
Universitas Leiden, Belanda, pada 2010. Di Leiden, Muridan pun
mendalami masalah Papua lewat manuskrip dari abad ke-18 dan 19 yang
tersimpan di universitas itu.
Sejak tahun 2008, Muridan memimpin tim kajian Papua dan sejak 2010
menjadi koordinator Jaringan Damai Papua (JDP). Jaringan itu
memfasilitasi dialog antara masyarakat Papua dan pemerintah. DI LIPI,
posisi terakhirnya adalah Kepala Bidang Perkembangan Politik Lokal.
Astrida Elisabeth, Wamena
0 komentar:
Posting Komentar