Sabtu, 22 Maret 2014

Papua Butuh Guru dengan Metode Mengajar CTL


Felix Minggus Degei (Dok. Pribadi)
(Sebuah Catatan Penting untuk Pemahaman Bersama.Terlebih Khusus bagi Semua Stakeholder yang Berperan Penting dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Tanah Papua)

Oleh. Felix Minggus Degei*

Tulisan pemahaman tentang pendekatan ini dirasa sangat penting karena sampai saat ini, pendidikan di Papua dan secara umum di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan(teacher centered).Sehingga realitas yang selama ini terjadi adalah seorang guru cenderung berceramah dan siswa hanya sebagai pendengar setia.Selain itu, pemberian contoh dan pembahasan materipun selalu berangkat dari yang tersurat dalam buku-buku cetak ataupun paket.  Padahal idealnya adalah pembelajaran harus dimulai dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh siswa itu sendiri.

Hal ini dibuktikan dengan beberapa keluhan yang perna diutarakan oleh beberapa siswa saat sharing pengalaman dengan penulis pada kesempatan yang berbeda. Keluhan itupun datang dari  siswa yang berasal dari tingkatan sekolah yang berbeda. Aneh tetapi nyatanya adalah bahwa bunyi keluhan-keluhan tersebut dengan maksud yang sama. Berikut ini adalah dua contoh kutipan yang perna diutarakan oleh siswa sebagai korban dari metode yang hanya berpusat pada guru tersebut.

“Setiap kali guru mengajar di kelas itu saya bingun sekali karena mereka selalu memberikan contoh-contoh dalam pelajaran itu tentang Jakarta dan gaya hidup dari orang-orang di sana saja.Hal yang menjadi pertanyaan saya selama ini adalah guru-guru ini mengajar kami untuk belajar gila atau tidak.Karena yang kami belajar adalah hal yang sama sekali tidak terbayang di pikiran kami.” Ujar Moses Degei, Siswa Kelas XI IPS 1 SMA Gabungan Jayapura Papua, belum lama ini.

Selain itu, tepatnya pada tahun 2010 silam, penulis bertemu dengan salah seorang Siswa Kelas 2SD YPPK Don Bosco Modio Kabupaten Dogiyai Papua.Ia mengeluh tentang soal ulangan harian yang diberikan oleh gurunya yakni “Sebutkan masing-masing tiga contoh kendaraan roda dua dan empat!”ia pun hanya bisa menggarut kepala karena tidak bisa menjawabnya. Alasannya tentu karena disana jalan raya saja tidak ada, apalagi kendaraan dengan berbagai merk.

Apakah aksi dari siswa tersebut di atas ini salah?. Ataukah, metode atau pendekatan belajarnya yang salah?.Hal ini agak aneh, akan tetapi itulah yang sudah dan sedang terjadi dalam pembelajaran saat ini.Padahal idealnya, mereka diberikan materi dengan contoh-contoh yang ada di sekitar siswa itu tinggal dan hidup.

Keluhan dari kedua siswa di atas adalah salah satu potret terkecil dari sekian banyak masalah yang dialami oleh para peserta didik saat ini,terlebih khusus di Tanah Papua.Sehingga, dipahami bahwa dengan model pendidikan seperti ini membuat siswa pasif dan tinggal menerima input dari guru saja. Padahal, pada hakekatnya pendidikan yang harus diharapkan sesuai kurikulum saat ini yakni Pembelajaran yang Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM). Sehingga dalam pembelajaran  tersebut siswa sendirilah yang menganalisis serta menghubungkan antara teori yang diterimanya dengan dengan kondisi realitas di sekitar siswa itu berada.

Hal ini dirasa penting karena berhasil atau tidaknya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam suatu kelas sangatlah ditentukan oleh metode atau pendekatan belajar yang diterapkan oleh seorang pendidik. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin membahas tentang salah satu metode yang dirasa sangat efektif dalam pembelajaran saat ini untuk diterapkan di setiap sekolah.Hal ini kadang dilalaikan oleh seorang guru dalam mendidik.Padahal metode ini adalah tentang bagaimana siswa sendiri aktif dan kreatif dalam belajar berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari.

Oleh karena itu, selanjutnya Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)adalah merupakan jawaban yang sangat signifikan atas situasi seperti ini dalam dunia pendidikan.Karena Pengertian secara harafiahnya pendekatan belajar ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.(US Departement of Education, 2001).

Dasar filosofi dalam Penerapan Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL)adalah pembelajaran berdasarkan apa saja yang ada disekitar para siswa berada. Sehingga fokus utama dalam metode belajar ini adalah para siswa(student centered), bukan berfokus pada seorang guru (teacher centered).Seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajarannya.

Sehingga dipahami bahwa dalam penerapan Pendekatan ini sangat dimungkinkan untuk terjadinya beberapa bentuk belajar yang secara tidak langsung dialami oleh siswa. Minimal secara ideal ada lima bentuk belajar yang terjadi dalam Kegiatan Belajar Mengajarnya (KBM) antara lain a). Mengaitkan (relating);b).Mengalami (experiencing);c).Menerapkan (applying);d).Bekerjasama (cooperating); dan e).Mentransfer (transferring).

a)    Mengaitkan (Relating)
Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Seorang guru menggunakan strategi ini ketikaia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.Dalam konteks di Papua, setiap guru yang mendidik ia harus mampu dan mau mengaitkan konsep baru yang ada dalam teori dengan hal-hal apa saja yang ada di dalam Alam Papua. Harapannya supaya para siswa bisa aktif dan kreatif dalam memahaminya tanpa harus menghayal sesuatu yang sesungguhnya tidak ada di pikiran mereka.

b)    Mengalami (Experiencing)
Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahuan sebelumnya.Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.Dipahami bahwa setelah siswa mengaitkan dengan apa saja yang ada di sekitar mereka, sehingga sangat pasti mereka juga yang akan mengalaminya dalam memahami penerapan dari suatu teori tertentu. Dalam konteks di Papua juga demikian, bahwa contoh-contoh yang diberikan dalam materi harus mengenai hal-hal yang paling tidak bisa dialami oleh siswa karena ada di sekitar mereka.Dengan siswa mengalami sesuatu tentunya akan lebih susah untuk dilupakan, dari pada hanya menelaah teorinya saja.

c)    Menerapkan (Applying)
Dalam bentuk belajar ini siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan suatu masalah. Seorang guru tugasnya hanya memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.Dalam konteks di Papua dipahami bahwa guru yang mengajar hanya bertugas dalam memberikan dorongan dengan praktik-praktik yang rill dan bersangkutan dengan apasaja yang ada juga di Papua. Hal ini dirasa sangat penting karena berhubungan dengan relevansi terhadap kemungkinan lapangan kerja bagi putra/I Asli Papua setelah selesai studi.

d)    Bekerjasama (Cooperating)
Dalam bentuk belajar ini tentu siswa sendiri yang secara kelompok akan memecahkan suatu masalah berkat kerja sama dari kelompok kalangan siswa sendiri. Karena dalam hal ini seorang guru hanya sebagai motivator dan fasilitator dalam berlansungnya proses belajar dari siswa. Dalam konteks di Papua, pengalaman kerjasama ini tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar.Akan tetapiharapannya supaya para siswa juga bisa konsisten dengan dunia nyata yakni alam sekitar siswa (Alam Papua).

e)    Mentransfer (Transferring)
Dalam Pendekatan kontekstual salah satu hal yang secara otomatis akan terjadi pada siswa adalah mereka secara langsung memahami karena obyek yang dibicarakan ada di sekitar mereka.Bedanya dengan pendekatan lain adalah siswa mereka hanya dituntut untuk bagaimana bisa memahaminya dengan cara menghafal. Sehingga dalam konteks Papua dipahami bahwa ketika seorang guru memberikan contoh harus sesuai dengan apa saja yang ada di Papua, maka tentu hal yang akan terjadi dalam diri siswa adalah memahami bukan hanya menghafal.

Selain itu, menurut Depdiknas untuk penerapannya, Pendekatan Kontektual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu
a).Konstruktivisme (constructivism); b).Menemukan (Inquiry); c). Bertanya (Questioning); d).Masyarakat-belajar (Learning Community); e). Memodelan (Modeling); f).Refleksi (Reflection), dan g). Penilaian yang sebenarnya (Authentic).Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing komponen.

a)    Konstruktivisme (Constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.

b)    Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual karenapengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri.Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hyphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).

c)    Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d)    Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu.Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

e)    Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model.Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.

f)    Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.

g)    Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.

Selanjutnya, setelah melihat, membaca, menelaah dan memahami sedikit teori dari Pendeketan Belajar CTL, sangatlah jelas bahwa idealnya yang perlu diberdayakan dalam KBM adalah siswa itu sendiri.Dan, memang hal inilah yang sangat diharapkan dalam proses belajar. Sehinggakemerdekaan bagi peserta didik dalam belajar itupun akan sangat nampak.

Sebenarnya, kurikulum belajar saat ini sangat menunjang untuk penerapan pendekatan belajar ini.Karena dalam implementasi pendidikannya diberikan kewenangan sepenuhnya pada satuan pendidikannya masing-masing.Sehingga, setiap tingkatan pendidikan tersebut punya hak dan wewenang untuk merancang kurikulum belajar yang sesuai dengan daerah dimana sistem pendidikan itu dijalankan.

Kurikulum belajar tersebut adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Dalam penyelenggaraannya, disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini, secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) seperti yang dilansir padahttp://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan.

Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari standar isi, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri.KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Selanjutnya, untuk mengakhiri tulisan ini penulis hanya mau memberikan dua buah tawaran solusi yang dialamatkan kepada kedua pihak dan instansi terkait, pertama Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi masing-masing kota terlebih khusus di Papua; dan keduapara tenaga pendidik (guru) yang sedang bertugas dan kerja di setiap tingkatan pendidikan.

Pertama,Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tentunya telah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap satuan pendidikan untuk membuat kurikulum dalam belajar sesuai dengan kebutuhan dan keberadaan dari sekolah tersebut (kontekstual).Oleh karena itu, penulis merasa Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten Kota dan Para pakar dalam manajemen pendidikan dan kurikulum harus melaksanakan lokakarya besar-besaran untuk merancang pendidikan yang layak dan pantas dilaksanakan di daerah tersebut, terlebih khusus di Tanah Papua. Harapannya, supaya penyelenggaraan pendidikannya sesuai dengan kebutuhan dari Sumber Daya Manusia (SDM) dari daerah tersebut.

Kedua, Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),tentu diberikan ruang untuk para pendidik dalam merancang dan menyelenggarakan pendidikan di setiap sekolah.Terlebih khusus adalah dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.Hal tersebut dirasa sangat penting karena itulah amanat dari pendekatan CTL itu sendiri.

Semoga, tulisan ini menjadi bahan inspirasi yang baik bagi semua pihak yang berkecimpung dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan secara khusus di Papua.Salam perubahan!.
“Sesungguhnya, dunia memerlukan generasi yang cerdas.Dan, para guru sedang mengusahakan hal tersebut.”

Felix Minggus Degei adalah Asisten Dosen pada Program Studi Bimbingan dan Konseling (Psikologi) FKIP Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua.

Sumber :http://tabloidjubi.com

0 komentar:

Posting Komentar