Sabtu, 15 Maret 2014

Peran Mahasiswa dalam Pemilu 2014






Dengan sedikit usaha praktis dua tiga lembar uang dengan mudah didapat, itu masalahnya. Tindakan menodai demokrasi negeri dilakukan secara berjamaah. Minim kesadaran akan pentingnya nilai demokratis, padahal suara manusia adalah suara Tuhan.

Diakui atau tidak, masyarakat Indonesia sudah terjebak dalam permainan politik pragmatis. Politik uang menjadi sebuah keniscayaan sampai pemilihan ketua RT sekalipun. Masyarakat terlena dengan lembaran uang yang cukup menggiurkan.

Dengan sedikit usaha praktis dua tiga lembar uang dengan mudah didapat, itu masalahnya. Tindakan menodai demokrasi negeri dilakukan secara berjamaah. Minim kesadaran akan pentingnya nilai demokratis, padahal suara manusia adalah suara Tuhan.

DENGAN demikian, mengacu pengalaman pemilu suram yang sudah  berlalu,  sudah  saatnya bangsa ini membuka lembaran baru menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik. Ingat bahwa pemilu adalah acara sakral untuk memilih pimpinan, Daerah dan Negara terbaik untuk menggantungkan nasib daerah dan bangsa  lima  tahun  ke  depan. 

Sudahlah cukup  track  record  yang  sudah  berlalu dari hasil yang tidak sportif. Solusi konkretnya harus ada sosialisasi lebih lanjut menganai teknis dan hakikat  sesungguhnya  pemilu.  Bukan  hanya  bersosialisasi  mengenai  pendidikan pemilu  namun  sema-mata  hanya  sebagai  alat  pencitraan.  Untuk  menyongsong  pemilu  2014  ini  memang  harus benar-benar  siap.  Sehingga  tercipta  pemilu  yang   kondusif,  dan  sportif.  Pemimpin  yang  terpilih  memang  benar-benar  menjadi  permintaan rakyat.  Sebab  dewasa  ini  banyak  calon pemimpin  yang  meminta-minta  untuk dipilih, padah hakikatnya calon untuk dipilih bukan minta dipilih.

Di  sisi  lain,  mahasiswa  yang  menjadi kaum  cendikia,  harus  mampu  memberi sumbangsih  berharga  terhadap  pelaksanaan  suksesi  pemimpin  masa  depan daerah dan  bangsa.  Sebab,  hakikatnya  mahasiswa masih netral atas permainan politik negeri, terlebih money politics. Jika mahasiswa tidak mampu memberi gebrakan terhadap  Pemilu  2014.  Rasa  peka  sangat  dibutuhkan,  karena  masyarakat  Papua Indonesia  sedang  terlena  oleh  permainan politik pragmatis. Jadi untuk pemilu tahun ini, peran mahasiswa sangat dinanti-nantikan.

Menjaga independensi KPU Walaupun  tidak  disoroti  secara  intensif  oleh  media  massa,  di  balik  kisruhnya  CALEG maupun capres-cawapres  di  berbagai  partai politik, kondisi Komisi Pemilihan Umum (KPU)  juga  tidak  kalah  pelik.  Persiapan  baik  materil  maupun  moril  secara sistemik  jauh  hari  sudah  dilaksanakan, demi  terselenggaranya  agenda  besar  Pemilu 2014. Karena itu, berawal dari kisruh persiapan pemilu tersebut, tidak sedikit wacana yang berhembus bahwa tahun 2014 adalah tahun politik.

Penyematan  tanda  tahun  politik  memang ada benarnya. Sebab, di tahun itulah parpol sibuk mempersiapkan kompetisi. Adu wacana, pemikiran, dan politik menjadi aktivitas sehari-hari yang tiada henti. Jadi, pemandangan saling menghujat seakan telah melebihi hari-H pelaksanaan Pemilu. Memang terkesan negatif, padahal hakikatnya itu hanya sebuah permainan politik. Maka wajar jika persepsi  yang  terbangun  di  masyarakat adalah politik itu munafik. Padahal politik  itu  baik,  hanya  untuk  era  kekinian politik butuh orang baik.

Namun, terlepas dari hal itu, KPU menjadi  ‘panah’  penentu  masa  depan daerah dan  bangsa.  Sedangkan  di  sisi  lain,  Pemilu  menjadi ‘anak panah’ yang masa depan daerah dan  bangsa juga beradu nasib olehnya. Oleh karena itu, independensi KPU dan kemurnian Pemilu harus tetap terjaga. Baik idependen etis (condong kepada yang baik) dan independensi organisatoris (tidak dicengkram oleh pihak lain). Jadi, KPU memang  harus  benar-benar  berdikari  tanpa  ada  campur  tangan  pihak  lain,  apa-lagi orang partai. Sesungguhnya  pemilu  adalah  konsekuensi logis atas asas demokrasi yang diusung  oleh  bangsa  Indonesia. 

Dan yang  memiliki  hak  untuk  menentukan nasib  daerah dan bangsa  adalah  rakyat.  Disadari demokrasi  bukan  satu-satunya  sistem yang mampu ‘menyulap’ negara menjadi sejahtera.  Dinasti,  otoriter,  semiotoriter, dan lainnya juga merupakan sistem yang tidak dapat dijustifikasi sebagai sistem buruk.  Semua  baik  asal  sesuai  dengan waktu dan tempat, serta karakter bangsa.  Karena  Indonesia  merupakan  negara plural, maka demokrasilah yang pantas  menjadi  ‘tali  pengikat’  kebhinekaan bangsa.

Walaupun  Pemilu  sempat  kehilangan ‘taringnya’,  akhirnya  setelah  1998  sampai  sekarang,  setidaknya  Pemilu  sudah kembali  menjadi  penentu  nasib daerah dan  bangsa. Pemilu yang ramai ‘Lima menit untuk  lima  tahun’  memang  perlu  menjadi refleksi suci tersendiri. Bagaimana keadaan bangsa secara futuristik, apakah  stagnan  atau  justru  menurun.  Sebab menjelaskan, bahwa rugilah  jika  hari  ini  tidak  lebih  baik  dari hari kemarin.

Terpenting Pemilu harus dibawa ke ‘rel’ aslinya. Jangan sampai Pemilu hanya dilaksanakan  tidak  lebih  sebuah  seremonial  yang  banyak  memakan  APBN  negara, dan tidak ada signifikansi yang riil. 

Amien Rais merumuskan, untuk  menaggulangi problematika Pemilu cukup dengan memberi  kebebasan  secara  menyeluruh, tanpa ada unsur intervensi ataupun doktrin yang bersifat motorik. Hanya itu butuh sinergi seluruh elemen negeri, karena sportivitas Pemilu di Indone-sia belum begitu terlihat.

Namun,  secara  otomatis  mahasiswa mendapat  beban  berat  untuk  menyukseskan  Pemilu  2014.  Posisi  strategis menjadi  alasan  kuat  mengapa  mahasiswa  mendapat  peran  tersebut.  Selain dekat  dengan  birokrat  negara,  mahasiswa  juga  tidak  jauh  dengan  kehidupan  rakyat.  Secara  tidak  langsung  mahasiswa  mengerti  kehidupan rakyat  jelata.  Karena  itu,  sebagai  langkah  cerdik  mahasiswa  harus  ikut  menjaga independensi KPU.

Perlu pendidikan untuk Pemilu Menginngat  kondisi  politik  bangsa yang  jauh  dari  aslinya,  dengan demikian  pendidikan  pemilu  dipandang perlu.  Selama  ini,  partai  politik  yang jumlahnya  tidak  sedikit,  belum  mampu memberi wawasan pemilu secara signifikan kepada masyarakat. Demikian realitasnya, fungsi partai politik sebagai ‘jembatan’ antara rakyat dengan pemerintah, serta  sebagai  pemberi  pendidikan  tentang politik dan pemilu, justru memberi image  yang  berbeda  dengan  fungsi  asli parpol,  poitik  uang  menjadi  candu  bagi masyarakat Papua pada khususnya pada umumnya Indonesia.

Oleh sebab itu, dengan semangat yang energik, mahasiswa harus ikut memberi pendidikan pemilu terhadap masyarakat, menyosialisasikan  hakikat  pemilu  dengan  menepikan  unsur  korupsi,  kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengingatkan bahwa 5 menit (ketika memberikan hak suara) menentukan 5 tahun ke depan, dan menunjukkan  bahwa  mahasiswa  agent of change. _Ayo_

0 komentar:

Posting Komentar