Dengan sedikit usaha praktis dua tiga lembar uang dengan mudah didapat, itu masalahnya. Tindakan menodai demokrasi negeri dilakukan secara berjamaah. Minim kesadaran akan pentingnya nilai demokratis, padahal suara manusia adalah suara Tuhan.
Diakui atau tidak, masyarakat Indonesia sudah terjebak
dalam permainan politik pragmatis. Politik uang menjadi sebuah keniscayaan
sampai pemilihan ketua RT sekalipun. Masyarakat terlena dengan lembaran uang
yang cukup menggiurkan.
Dengan sedikit usaha praktis dua tiga lembar uang
dengan mudah didapat, itu masalahnya. Tindakan menodai demokrasi negeri
dilakukan secara berjamaah. Minim kesadaran akan pentingnya nilai demokratis,
padahal suara manusia adalah suara Tuhan.
DENGAN demikian, mengacu pengalaman pemilu suram yang
sudah berlalu, sudah saatnya bangsa ini membuka lembaran baru
menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik. Ingat bahwa pemilu adalah acara
sakral untuk memilih pimpinan, Daerah dan Negara terbaik untuk menggantungkan
nasib daerah dan bangsa lima tahun ke depan.
Sudahlah cukup track record
yang sudah berlalu dari hasil yang tidak sportif. Solusi konkretnya
harus ada sosialisasi lebih lanjut menganai teknis dan hakikat sesungguhnya
pemilu. Bukan hanya bersosialisasi mengenai
pendidikan pemilu namun sema-mata hanya sebagai
alat pencitraan. Untuk menyongsong pemilu
2014 ini memang harus benar-benar siap.
Sehingga tercipta pemilu yang kondusif,
dan sportif. Pemimpin yang terpilih memang
benar-benar menjadi permintaan rakyat. Sebab
dewasa ini banyak calon pemimpin yang
meminta-minta untuk dipilih, padah hakikatnya calon untuk dipilih bukan
minta dipilih.
Di sisi lain, mahasiswa
yang menjadi kaum cendikia, harus mampu memberi
sumbangsih berharga terhadap pelaksanaan suksesi
pemimpin masa depan daerah dan bangsa. Sebab, hakikatnya
mahasiswa masih netral atas permainan politik negeri, terlebih money politics.
Jika mahasiswa tidak mampu memberi gebrakan terhadap Pemilu
2014. Rasa peka sangat dibutuhkan, karena
masyarakat Papua Indonesia sedang terlena oleh
permainan politik pragmatis. Jadi untuk pemilu tahun ini, peran mahasiswa
sangat dinanti-nantikan.
Menjaga independensi KPU Walaupun tidak
disoroti secara intensif oleh media massa,
di balik kisruhnya CALEG maupun capres-cawapres
di berbagai partai politik, kondisi Komisi Pemilihan Umum
(KPU) juga tidak kalah pelik. Persiapan
baik materil maupun moril secara sistemik
jauh hari sudah dilaksanakan, demi terselenggaranya
agenda besar Pemilu 2014. Karena itu, berawal dari kisruh persiapan
pemilu tersebut, tidak sedikit wacana yang berhembus bahwa tahun 2014 adalah
tahun politik.
Penyematan tanda tahun politik
memang ada benarnya. Sebab, di tahun itulah parpol sibuk mempersiapkan
kompetisi. Adu wacana, pemikiran, dan politik menjadi aktivitas sehari-hari
yang tiada henti. Jadi, pemandangan saling menghujat seakan telah melebihi hari-H
pelaksanaan Pemilu. Memang terkesan negatif, padahal hakikatnya itu hanya sebuah
permainan politik. Maka wajar jika persepsi yang terbangun
di masyarakat adalah politik itu munafik. Padahal politik itu
baik, hanya untuk era kekinian politik butuh orang
baik.
Namun, terlepas dari hal itu, KPU menjadi
‘panah’ penentu masa depan daerah dan bangsa. Sedangkan di
sisi lain, Pemilu menjadi ‘anak panah’ yang masa depan daerah
dan bangsa juga beradu nasib olehnya.
Oleh karena itu, independensi KPU dan kemurnian Pemilu harus tetap terjaga.
Baik idependen etis (condong kepada yang baik) dan independensi organisatoris
(tidak dicengkram oleh pihak lain). Jadi, KPU memang harus
benar-benar berdikari tanpa ada campur
tangan pihak lain, apa-lagi orang partai. Sesungguhnya
pemilu adalah konsekuensi logis atas asas demokrasi yang
diusung oleh bangsa Indonesia.
Dan yang memiliki hak untuk
menentukan nasib daerah dan bangsa adalah rakyat.
Disadari demokrasi bukan satu-satunya sistem yang mampu
‘menyulap’ negara menjadi sejahtera. Dinasti, otoriter,
semiotoriter, dan lainnya juga merupakan sistem yang tidak dapat dijustifikasi
sebagai sistem buruk. Semua baik asal sesuai
dengan waktu dan tempat, serta karakter bangsa. Karena
Indonesia merupakan negara plural, maka demokrasilah yang pantas
menjadi ‘tali pengikat’ kebhinekaan bangsa.
Walaupun Pemilu sempat kehilangan
‘taringnya’, akhirnya setelah 1998 sampai
sekarang, setidaknya Pemilu sudah kembali menjadi
penentu nasib daerah dan bangsa. Pemilu yang ramai ‘Lima menit
untuk lima tahun’ memang perlu menjadi refleksi
suci tersendiri. Bagaimana keadaan bangsa secara futuristik, apakah
stagnan atau justru menurun. Sebab menjelaskan, bahwa
rugilah jika hari ini tidak lebih
baik dari hari kemarin.
Terpenting Pemilu harus dibawa ke ‘rel’ aslinya.
Jangan sampai Pemilu hanya dilaksanakan tidak lebih
sebuah seremonial yang banyak memakan APBN
negara, dan tidak ada signifikansi yang riil.
Amien Rais merumuskan, untuk menaggulangi
problematika Pemilu cukup dengan memberi kebebasan secara
menyeluruh, tanpa ada unsur intervensi ataupun doktrin yang bersifat motorik.
Hanya itu butuh sinergi seluruh elemen negeri, karena sportivitas Pemilu di
Indone-sia belum begitu terlihat.
Namun, secara otomatis mahasiswa
mendapat beban berat untuk menyukseskan
Pemilu 2014. Posisi strategis menjadi alasan
kuat mengapa mahasiswa mendapat peran
tersebut. Selain dekat dengan birokrat negara,
mahasiswa juga tidak jauh dengan kehidupan
rakyat. Secara tidak langsung mahasiswa
mengerti kehidupan rakyat jelata. Karena itu,
sebagai langkah cerdik mahasiswa harus ikut
menjaga independensi KPU.
Perlu pendidikan untuk Pemilu Menginngat
kondisi politik bangsa yang jauh dari aslinya,
dengan demikian pendidikan pemilu dipandang perlu.
Selama ini, partai politik yang jumlahnya
tidak sedikit, belum mampu memberi wawasan pemilu secara
signifikan kepada masyarakat. Demikian realitasnya, fungsi partai politik
sebagai ‘jembatan’ antara rakyat dengan pemerintah, serta sebagai
pemberi pendidikan tentang politik dan pemilu, justru memberi
image yang berbeda dengan fungsi asli
parpol, poitik uang menjadi candu bagi masyarakat
Papua pada khususnya pada umumnya Indonesia.
Oleh sebab itu, dengan semangat yang energik, mahasiswa
harus ikut memberi pendidikan pemilu terhadap masyarakat,
menyosialisasikan hakikat pemilu dengan menepikan
unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengingatkan bahwa 5
menit (ketika memberikan hak suara) menentukan 5 tahun ke depan, dan menunjukkan
bahwa mahasiswa agent of change. _Ayo_
0 komentar:
Posting Komentar