Ilustrasi. Foto: www.tempo.co
Enarotali, -- Direktur Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema), Hanok Herison Pigai mengungkapkan keprihatinannya soal kematian ibu dan anak di tiga Kabupaten Wilayah Tengah Papua, Paniai, Deiyai dan Dogiyai.
Kepada majalahselangkah.com, Rabu, (29/01/14) menjelaskan, di kabupaten Paniai, Provinsi Papua tercatat 27,66 persen proses kelahiran pertama yang ditangani oleh tenaga medis.
Dari jumlah itu, 12.77 persen ditangani dokter/bidan dan 14.89 persen lainnya ditangani tenaga medis. Semenara, 72.34 persen kelahiran pertama ditolong tenaga bukan medis, yakni dukun, family dan lainnya.
"Jadi, kematian ratusan anak dan ibu lebih banyak karena belum mendapatkan pertolongan oleh tenaga medis. Dari 72.34 persen itu, yang tertolong kurang dari 20 persen. Kami belum berhasil mendata karena sulit mendata," kata Hanok.
Lebih lanjut kata dia, lebih dari 85% penyebab kematian ibu hamil/bayi pada saat melahirkan/bersalin disebabkan oleh 3 masalah pokok, yaitu pendarahan (40-60%), infeksi jalan lahir (20-30%) dan keracunan kehamilan (20-30%).
"Berdasarkan analisis situasi kesehatan di Kabupaten Paniai, ketiga hal tersebut terjadi karena persoalan status gizi, hygiene-sanitasi, kesadaran hidup sehat, dan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan. Peran penolong kelahiran sangat penting bagi keselamatan bayi dan ibu yang melahirkan," katanya.
Di sisi lain, kata dia, kendala yang terjadi di masyarakat Paniai adalah tidak semua masyarakat mampu membiayai persalinan dengan dibantu oleh tenaga kesehatan yang terlatih seperti dokter atau dokter/bidan. "Kebersihan persalinan akan menunjang jangka harapan hidup," tuturnya.
"Kondisi sama dengan Kabupaten Diyai dan dan Dogiyai. Kabupaten yang lebih dahulu dimekarkan saja persoalan ini lebih parah, apalagi Kabupaten Deiyai dan Dogiyai lebih parah," kata dia.
Kata dia, persoalan minimnya pelayanan dasar dan juga akses atas informasi atas kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan di tiga terkendala oleh persoalan masih terbatasnya sarana dan prasaran kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah daerah di wilayah ini.
Selain itu, kata dia, persoalan adanya beberapa tata aturan budaya dan hukum adat yang masih sangat kental menghambat hak perempuan di 3 wilayah ini untuk mendapatkan akses informasi kesehatan dan juga hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi kesehatan reproduksinya, misalnya dalam hal hubungan seksual dalam keluarga, penentuan banyak/sedikitnya jumlah anak, penggunaan alat kontrasepsi KB dan informasi tentang analisa atas keluhan-keluhan penyakit dalam alat reproduksi perempuan muda atau ibu muda.
"Hasil diskusi terfokus yang dilakukan Yapkema mencatat beberapa persoalan penting dalam hal akses perempuan untuk mendapatkan Akses dan Advokasi Kesehatan Reproduksi Berbasis Hak. Pertama, masih terbatas dan minimnya distribusi informasi tentang keadilan gender dan hak atas kesehatan reproduksi," kata dia.
Kedua, kata dia, kondisi dan situasi perempuan masih belum memiliki daya dan keberanian sikap dalam pengambil keputusan dan masih tergantung pada keputusan keluarga, suami/orang tua dan saudara dalam struktur keluarga.
Ketiga, belum adanya kesadaran dan ruang bersama bagi perempuan untuk mendiskusikan tentang hak-hak reproduksi perempuan, terutama perempuan muda kampung.
Dari sisi kebijakan, kata Hanok, sebenarnya wilayah Papua memiliki kewenangan khusus yang tertuang dalam kewenangan Otonomi Khusus (Otsus) sejak 8 tahun yang lalu. Di sana, telah mengamanatkan adanya perwujudan keadilan, menegakkan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam kerangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan daerah lain.
Namun, ia menilai, roh dari regulasi di tingkat nasional dan juga kewenangan Otsus di wilayah Papua diharapkan mampu menjadi peluang bagi masyarakat Papua termasuk di dalamnya kaum perempuan muda untuk mendorong terwujudnya amanah dari Undang-Undang dan semangat Otsus tersebut.
Secara Nasional, sejak tahun 1984 Indonesia telah merativikasi CEDAW (Covenan Elimination Determination Against Women) yang merupakan kovenan internasional untuk anti kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dituangkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Anti Kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun rativikasi kovenan ini telah berlangsung selama hampir lebih 20 tahun, namun implementasinya masih menemui banyak kendala dan hambatan serta keterbatasan. Persoalan masih kentalnya budaya patriarkhi, penafsiran atas ajaran agama yang belum sensitif gender berdampak pada munculnya situasi dan kondisi yang mendiskriminasi, memarginalisasi, menciptakan beban ganda/double burden dan stereotyping/pelabelan negatif pada perempuan.
Juga, terkendala konstruksi sosial dan budaya serta penafsiran ajaran agama yang masih belum berpihak pada hak dasar perempuan ini bukan hanya tercipta dalam ranah keluarga, namun telah melebar ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Lebih jauh kata Hanok, sejak diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi hak Ekosob (ekonomi Sosial Budaya) yang merupakan rativikasi hak kovenan ekonomi, sosial dan budaya yang mencakup perlindungan atas hak dasar yang harus diberikan tanpa pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
"Dalam undang-undang ini telah dijamin adanya hak dasar kesehatan yang merupakan hak dasar setiap warga negara secara berkeadilan. Tapi, dalam kenyataannya hal ini belum banyak terjadi," kata Hanok. (Yermias Degei/MS)
sumber:majalahselangkah.com
0 komentar:
Posting Komentar